Senin, 21 Oktober 2013

DARI HOBI MENJADI PROFESI , by : TIM REPORTASE ABU-ABU

OM SWASTYASTU,
Hallo teman-teman ini adalah wawancara saya bersama Tim Reportase Abu-Abu dengan seorang narasumber yaitu Bapak Wayan Gendra. beliau adalah seorang seniman di kawasan Gianyar Bali.
Semoga dapat bermanfaat untuk kita semua . Dan kalau kalian mau copy, silahkan tapi izin dulu yaaaa.
Selamat membaca^^













Wayan Gendra
                     
Dari Hobi Menjadi Profesi



DARI sekedar hobi melukis, Wayan Gendra kini menjadi salah satu seniman terkenal dengan karya-karya lukis nya yang terbaik di Kota Gianyar ini. Bahkan sudah terpencar di kota-kota lain bahkan hingga ke mancanegara. “ Awalnya saya belajar melukis hanya untuk keisengan semata. Dan saya kemudian menyukainya terlebih lagi hasil lukisan saya yang dikatakan bagus, “ katanya.
Pria kelahiran Desa Batuan,Gianyar, 20 Agustus 1970 ini mengaku bangga keisengannya ini sangat berguna bagi dirinya dan tentunya bagi masyarakat luas yang dapat menikmati keindahan lukisannya. Terlebih begitu banyak investor serta wisatawan asing berdatangan untuk membeli hasil karyanya tersebut.
Berawal sekitar tahun 1986, saat ia masih duduk dibangku kelas 5 SD dan berlanjut hingga kelas 3 SMP, ia sudah mulai belajar melukis dan itupun hanya sebuah keisengan semata, yang tak lain diajarkan langsung oleh kakaknya yang bernama Wayan Warsika. Ditahun 1986, ketika perekonomian di Bali sangat baik, yang dimana dengan mudahnya menjual karya-karya tersebut. Semenjak saat itu Wayan Gendra mulai mencoba sendiri untuk menciptakan lebih banyak karyanya dan menjual karyanya tersebut dipasaran. Ternyata sangat banyak yang meminati karyanya tersebut selebih lagi karyanya tereksport hingga mancanegara. “ Tidak rugi dan tidak sia-sia saya latihan selama 5tahun yang walaupun itu hanya rasa iseng namun ternyata membawa berkah yang tidak hanya untuk saya pribadi namun untuk Mancanegara, “ ungkap pria 43tahun ini.

Pria tamatan SMP 1 Sukawati dan SPG Negeri Denpasar ini, mengaku selama ia menuntut ilmu disejumlah sekolah, ia tidak pernah meminta biaya pada orang tuanya. Melainkan biaya itu ia tanggung sendiri karena melihat sikon dan situasi keadaan yang ia tidak tega menambah beban orang tuanya lagi. Dari hasil penjualan karyanya tersebutlah ia gunakan untuk membiayai sekolahnya selebih lagi hingga ia bisa membiayai jalannya upacara keagamaan di tempat tinggalnya.
Hingga pada tahun 1990, Wayan Gendra menikah dengan I Nyoman Murtini dan kini sudah direstui 3 orang anak. Begitupun kini anak-anak beliau juga akan diwarisi oleh sifat orang tuanya untuk menjadi seorang yang berjiwa seni walaupun tidak ada kesamaan niat, namun tidak ada salahnya untuk dicoba. Karena tidak akan ada hasil yang baik tanpa keinginan untuk mencoba.
“ Perkembangan selaku pelukis tidak pernah susah melakukannya, walaupun kadang terhambat dan tidak pernah terselesaikan namun niat untuk menjadi seorang pelukis tidak pernah putus, “ ujarnya.
Sampai sekarang karyanya sangat laris dan bagus-bagus juga. Ia tetap menjaga kualitas karya lukisan agar tetap baik dimata publik.

Kini ditahun 2013 ini, sementara tidak ada profesi lain selain melukis. Misalnya, mengambil pekerjaan merada atau tidak termasuk profesi tetap. Baru-baru ini, dari museum Batuan yang baru berdiri pada saat pembukaan museum ada pameran lukisan.
Dibalik keseharian Wayan Gendra sebagai pelukis ini, ternyata ia juga mempunyai sebuah Organisasi pelukis karya batuan yang bernama “Kumpulan Batur Pulangon” .
Yang artinya sebuah perkumpulan karya seni pelukis Desa Batuan, yang mencerminkan atau memukau karya yang elastis dengan kreativitas seni yang tinggi.
Adapun tujuan dibentuknya perkumpulan itu adalah tak lain untuk melestarikan lukisan karya Batuan agar tetap hidup, dan untuk memberikan jalan kepada para seniman atau para pelopor yang bergelut dibidang seni. Anggota dari perkumpulan ini kurang lebih 60 orang sudah termasuk senior dan junior.

Dibulan Juli mendatang Perkumpulan Batur Pulangon akan mengadakan pameran lukisan di Rama Warta Ubud, Gianyar. Selain banyaknya lukisan yang hanya untuk dipamerankan, namun sebagian lukisan juga tersedia untuk dijual belikan. Penyelengaraan kegiatan tersebut yang dimana bertujuan untuk lebih mengenalkan masyarakat luas dengan keindahan budaya kita sekaligus karya anak cucu . Masalah duka pasti sering dialami oleh sejumlah pelukis, entah itu sebab keadaan ekonomi.

Nah, khusus untuk para generasi muda yang ingin menjadi seorang pelukis.
“ Kalau punya hobi menjadi seorang pelukis usahakan sabar apalagi kita mempunyai keinginan melukis tradisi. Waktu yang kita habiskan banyak, oleh sebab itu kunci kita adalah sabar. Berkaryalah dengan baik, pertimbangkan karya dengan harga. Karya yang berkualitas begitupun harga yang cocok. Harus betu-betul belajar berkarya yang bagus, percuma kalau kita berkarya tidak bagus yaitu hanya membuang-buang waktu, “ tutur Wayan gendra.(reportase abu-abu)

AYAH TAK LINDUNGI KAMI


OM SWASTYASTU,
hallo teman-teman, ini adalah puisi esai saya yang pertama dengan Tema seorang pemimpin atau Ayah yang seharusnya melindungi anak nya namun malah sebaliknya. Menjual semua hak nya, reklamasi dimana-mana.
yaaah, selamat menyimak dan semoga bermanfaat. Jangan lupa kritik dan sarannya^^






Ayah Tak Lindungi Kami
oleh : Ayu Devi Chrismayanti


Siang hari yang terik
Ketika panas membara
Badan kecil tak berdosa
Tertatih …
Bagai ranting tanpa pohon
Tanpa alas kaki
Hidup bagai kapal tanpa nahkoda
Meskipun mentari melepuh
Namun jiwa ini tiada mengeluh
Jerit tangis tak terhiraukan!
Begini hidup di negeri sendiri

Yang seharusnya …
Negeri ku tempat ku berlindung
Pulau ku tempat ku berteduh
Dimana badai itu kian datang menepis setiap dinding kehidupan
Disaat itu pula ku harus kehilangan mimpi-mimpi ku
Dimana aku temukan kesejahteraan?
Dimana aku dapatkan hidup selayak ini?
Tak ada cinta, tak ada kasih sayang
Bahkan tak ada seorang pun yang peduli

Ketika ku temui cinta yang seindah ini
Saat ini pula aku dapat merasakan indahnya di cintai
Tak dapat ku pungkiri
Tak dapat ku akui
Hanya bisa ku lalui
Karena sesungguhnya aku tak mengerti apa arti dari ini semua
Ini hanya badai cinta yang datang sekejap dan kembali hilang
Terbang tertutup kabut egosiasi




Langit negeri ku gelap, penuh keputus-asaan
Aku seolah hidup dalam negeri yang carut marut karena egosiasi
Mana jiwa pancasila ku?
Mana jiwa proklamasi negeri ku?
Kemana semangat Indonesia Raya?
Semuanya hilang, lenyap tersapu badai kebodohan negeri ini
Tak tersadar satu pun jiwa kepedulian bangsa
Yang hanya terpandang kepuasan diri sekejap


Dalam kebimbangan dan ragu aku tetap melangkah
Dalam panas jalanan aku tetap merangkak
Polusi hanya tinggal polusi
Hidup di rumah seperti bara api
Korupsi tinggalah korupsi
Seperti berita yang tak pernah mati
Seperti kebodohan yang selalu terpelihara
Seperti manusia yang tak pernah tersadar
Karena sesungguhnya kebodohan itulah yang mereka pelihara

Sepoi angin sejukan jiwa yang bertepi
Bertepi antara hidup dan matinya
Bahwa sesungguhnya roda hidup terus berputar
Denyut jantung ku beratap pada nyawa mereka
Seandainya aku berkorban untuk mereka
Apa yang akan aku dapatkan?
Hidup dalam negeri sendiri penuh pengorbanan
Ayah sendiri pun menjual hak kita

Aku berteriak seperti orang gila
Tapi tetap saja yang di atas melangkah begitu saja
Ada setitik harapan pada pemimpin yang bercahaya
Tetapi janji tinggalah janji
Biarlah janji itu yang ku bawa mati
Sampai kapan aku hidup di bawah janji mereka?
Sampai kapan aku bertahan menunggu janji mereka?
Apakah sampai nyawa ku tercabut oleh janji mereka?
Hanya sebuah wacana kehidupan
Kapan negeri ku bersih dari egosiasi? KAPAN?!
Kapan hati nurani pemimpin negeri ini berbentuk hati? KAPAN?!
Akankah semuanya tinggal mimpi dan akan terhapus esok pagi?
Mimpi ku terlalu banyak berhamburan
Hanya mimpi dan apresiasi
Hanya ungkapan dan harapan
Hanya perkataan dan janji mereka yang menghantui jiwa ini
Dan kunjung terkabul
Tak kunjung terbukti
Hanya wacana kehidupan
Hanya realita perkataan
Dramatis negeri ini penuh sandiwara
Egosiasi tanpa sadar jiwa


Tak selembut mutiara dalam kerangka kemuliaan
Yang hanya batu bara dalam kantong negeri
Panasnya mengaburkan kepercayaan
Kekecewaan dan keputus-asaan
Tak seperti sutra yang membalut mimpi-mimpi kedamaian
Yang menyatakan mimpi dalam negeri menjadi kehidupan
Namun sebalikanya hanya kafan yang mengumbar
Mengumbar janji penuh keputus-asaan
kepercayaan yang kian menepis
Seolah rugi dan tak dapat di percaya
Biarpun semuanya telah berlalu
Namun berharap tak ada legenda yang tersisa
Sebab akan mudah terlukai
Terbengkelai menghantam ragu dan nestapa
Hidup-hidup rakyat kecil

Ayah tak lindungi negeri ini
Ayah menjual negeri ini
Reklamasi di negeri ku
Untuk apa ayah lakukan itu?
Untuk apa ayah gunakan negeri ini?
Seberapa mereka membeli negeri kita, Ayah?
Lebih pentingkah uang mereka dibanding keharmonisan negeri kita?
Setega itu Ayah lakukan ini
Menenggelamkan tanah kita
Menghapus cita-cita anak bangsa
Merelakan keindahan negeri ini untuk mereka
Sadar Ayah, ini negeri mu
Ini tempat mu berlindung
Ini tempat mu berteduh
Ini tempat mu di lahirkan
Dan ini pula tempat legendaris mu, Ayah!
Tempat dimana kau dilahirkan menjadi pemimpin kami
Tempat kami mengadu
Tempat kami bernaung diri
Meminta petunjuk mu
Meminta nasihat mu
Meminta perlindungan mu


Di bawah kekuasaan mu yang seharusnya negeri ini merasakan kedamaian
Keindahan, keelokan, dan citra kebangsaan
Namun malah sebaliknya
Ayah jual tempat kami
Ayah jual hak-hak kami
Ayah tak pedulikan kehidupan kami
Reklamasi Ayah pentingkan
Kami menolak, Ayah!
Kami menolak Reklamasi mu!
Kau bukan Ayah ku lagi
Kau bukan Ayah yang kami harapkan
Ayah yang seharusnya melindungi kami dan negeri kami
Aku cinta negeri ini, tak ingin orang asing menjajahnya lagi
Ini reklamasi yang bertolak belakang
Ini negeri tempat kedamaian kami, bukan penjualan aset hak kalian




Selama garuda belum dipandang sebagai Pancasila
Indonesia ku masih tetap berjuang
Selama garuda hanya hiasan dinding sekolah saja
Indonesia ku masih tetap berkabung
Selama garuda belum dapat terbang tinggi
Indonesia ku masih tetap merintih
Indonesia masih tetap INDONESIA!!!



Indonesia merdeka itu adalah harapan kami, yang meminta perlindungan pancasila sebagai pegangan!!!

DIMENSI KEHIDUPAN

OM SWASTYASTU,

hallo teman-teman, selamat datang di karya pertama saya :)
Ini adalah salah satu puisi pertama yang saya buat saat pertama duduk di bangku kelas 1 SMA.
Dengan tema, seorang rakyat kecil atau anak kecil yang tidak mempunyai arah & tujuan hidup yang pasti.
Selamat menyimak, semoga bermanfaat^^

                                        



                                              Dimensi Kehidupan
                                                 oleh : Ayu Devi Chrismayanti



                         Siang hari yang terik
                         Ketika panas membara
                         Badan kecil tak berdosa
                         Tertatih…
                         Bagai ranting tanpa pohon
                         Tanpa alas kaki


                         Hidup mu bagai kapal tanpa nahkoda
                         Meskipun mentari melepuh
                         Namun jiwamu tiada mengeluh
                         Tiada jerit tangis mu
                         Alangkah tersisihnya dikau

                         Bangkitlah ….. meski tiada yang peduli …